KATA MAMA...
gbr : disini
Ku edarkan pandangan ke sekeliling ruang kelas. Murid-murid TK Nol Besar ini sibuk dengan mata pelajaran kerajinan hari ini. Mereka saling membentuk kertas lipat menjadi bentuk pesawat, sesuai cara yang di ajarkan ibu Mala. Persis di ujung barisan paling belakang putraku Dio dan Afin duduk bersebelahan. Mereka pun tampak sibuk sendiri-sendiri.
Tapi ada pemandangan aneh yang ku lihat saat itu. Dihadapan Dio dan Afin ada tiga gadis mungil yang saling berbisik-bisik lalu sesekali menatap Dio dengan wajah tak bersahabat. Kemudian gadis berambut pirang itu mencolek Afin dan menyikut tubuh Afin yang tengah konsentrasi dengan kertas lipatnya. Dio sesekali meruncingkan bibirnya lalu melotot kepada gadis mungil tersebut.
Aku pun beralih menunggu waktu pulang sekolah yang tinggal 30 menit lagi di halaman sekolah. Tak lama aku duduk di kursi taman, suara tangisan pecah membahana. Sudah ku duga saat kaki mulai berjinjit lagi mengintip dari balik jendela yang ditutupi korden setengah kaca.
“kenapa Afin menangis? Ayo siapa yang membuat Afin menangis” Ibu Mala menghampiri Afin.
“Dio bu” ujar tiga gadis mungil itu kompak.
Afin terus saja menangis sambil mengucek-ucek matanya dan mendengus hidungnya. “Dio, kamu apakan adik kamu? Ayo cepat minta maaf” Ibu Mala terus mendesak.
Ku perhatikan Dio tak peduli. Ia malah sibuk dengan karyanya dengan kertas lipat.
“Lho kenapa kamu membuat perahu? Ibu guru kan menyuruhnya membuat pesawat”
“kata mama kalau Dio sudah bisa membuat pesawat, berarti Dio harus membuat yang lain. Yang belum Dio bisa” ujarnya datar tanpa melirik ke arah ibu Mala.
“iya bu, kak Dio itu di bilangin susah. Eh malah Afin di marahi”ujar Afin yang akhirnya menghentikan tangisnya.
“kamu kan, memang belum bisa membuat pesawat. Kalau Dio kan sudah bisa. Walaupun kita satu mama, tapi kata mama kita beda”
Aku tersenyum geli, rasanya Dio memang selalu ingat kata-kataku. Mereka memang kembar, sama tapi tak serupa.
~_~
Insya Allah buat cermin lagi ah, ketagihan
KATA MAMA...
gbr : disini
Ku edarkan pandangan ke sekeliling ruang kelas. Murid-murid TK Nol Besar ini sibuk dengan mata pelajaran kerajinan hari ini. Mereka saling membentuk kertas lipat menjadi bentuk pesawat, sesuai cara yang di ajarkan ibu Mala. Persis di ujung barisan paling belakang putraku Dio dan Afin duduk bersebelahan. Mereka pun tampak sibuk sendiri-sendiri.
Tapi ada pemandangan aneh yang ku lihat saat itu. Dihadapan Dio dan Afin ada tiga gadis mungil yang saling berbisik-bisik lalu sesekali menatap Dio dengan wajah tak bersahabat. Kemudian gadis berambut pirang itu mencolek Afin dan menyikut tubuh Afin yang tengah konsentrasi dengan kertas lipatnya. Dio sesekali meruncingkan bibirnya lalu melotot kepada gadis mungil tersebut.
Aku pun beralih menunggu waktu pulang sekolah yang tinggal 30 menit lagi di halaman sekolah. Tak lama aku duduk di kursi taman, suara tangisan pecah membahana. Sudah ku duga saat kaki mulai berjinjit lagi mengintip dari balik jendela yang ditutupi korden setengah kaca.
“kenapa Afin menangis? Ayo siapa yang membuat Afin menangis” Ibu Mala menghampiri Afin.
“Dio bu” ujar tiga gadis mungil itu kompak.
Afin terus saja menangis sambil mengucek-ucek matanya dan mendengus hidungnya. “Dio, kamu apakan adik kamu? Ayo cepat minta maaf” Ibu Mala terus mendesak.
Ku perhatikan Dio tak peduli. Ia malah sibuk dengan karyanya dengan kertas lipat.
“Lho kenapa kamu membuat perahu? Ibu guru kan menyuruhnya membuat pesawat”
“kata mama kalau Dio sudah bisa membuat pesawat, berarti Dio harus membuat yang lain. Yang belum Dio bisa” ujarnya datar tanpa melirik ke arah ibu Mala.
“iya bu, kak Dio itu di bilangin susah. Eh malah Afin di marahi”ujar Afin yang akhirnya menghentikan tangisnya.
“kamu kan, memang belum bisa membuat pesawat. Kalau Dio kan sudah bisa. Walaupun kita satu mama, tapi kata mama kita beda”
Aku tersenyum geli, rasanya Dio memang selalu ingat kata-kataku. Mereka memang kembar, sama tapi tak serupa.
~_~
Insya Allah buat cermin lagi ah, ketagihan