Ambilah Kesempatan


sumber : Google

Dalam sebuah kelas pelatihan, saya mengambil selembar kertas polos kemudian menggunting-guntingnya menjadi beberapa bagian. Ada guntingan besar ada juga yang kecil. Tapi jumlahnya sengaja saya buat tak sama dengan jumlah peserta dalam kelas itu, dua puluh orang. 

Kemudian saya meminta kepada peserta untuk mengambil masing-masing satu guntingan kertas yang tersedia di meja depan. "Silahkan ambil satu!" demikian instruksi yang saya berikan.
Dapat diduga, ada yang antusias maju dengan gerak cepat dan mengambil bagiannya, ada yang berjalan santai, ada juga yang meminta bantuan temannya untuk mengambilkan. Dua tiga orang bahkan terlihat bermalasan untuk mengambil, mereka berpikir toh semuanya kebagian guntingan kertas tersebut. 

Hasilnya? Empat orang terakhir tak mendapatkan guntingan kertas. Delapan orang pertama ke depan mendapatkan guntingan besar-besar, yang berjalan santai dan yang meminta diambilkan harus rela mendapatkan yang kecil.

Lalu saya katakan kepada mereka, "Inilah hidup! Kamu ambil kesempatan yang tersedia atau kamu akan kehilangan kesempatan itu. Jika kamu tak melakukannya, akan banyak orang lain yang melakukannya."

Pagi ini di kereta saya mendapati seorang wanita hamil yang berdiri agak jauh. Saya sempat berpikir bahwa orang yang paling dekat lah yang `wajib' memberinya tempat duduk. Tapi sedetik kemudian saya bangun dan segera memanggil ibu itu untuk duduk. Ini perbuatan baik, jika saya tak mengambil kesempatan ini orang lainlah yang melakukannya. Dan belum tentu esok hari saya masih memiliki kesempatan seperti ini.

Soal rezeki misalnya, saya percaya ia tak pernah datang sendiri menghampiri orang-orang yang lelap tertidur meski matahari sudah terik. "Bangun pagi, rezekinya dipatok ayam tuh!" Orang tua dulu sering berucap seperti itu. Dan entah kenapa hingga detik ini saya tak pernah bisa menyanggah ucapan orangtua perihal rezeki itu. Saya percaya bahwa orang-orang yang lebih cepat berupaya meraihnya lah yang memiliki kesempatan untuk mendapatkan rezeki yang lebih banyak. Sementara mereka yang bersantai-santai atau bahkan bermalas-malasan, ada kemungkinan kehabisan rezeki.

Saya sering mendengar teman saya berkomentar negatif tentang apa yang dikerjakan orang lain, "Ah, kalau cuma tulisan begini sih saya juga bisa melakukannya" atau "Saya bisa melakukan yang lebih baik dari orang itu". Kepadanya saya katakan, saya yakin kamu bisa melakukannya. Masalahnya, sejak tadi saya hanya melihat kamu terus berbicara dan tak melakukan apa pun.

Sementara orang-orang di luar sana langsung berbuat tanpa perlu banyak bicara. Buktikan, jika kita sanggup! Terus berbicara dan mengomentari hasil kerja orang lain tidak akan membuat kita diakui keberadaannya. Hanya orang-orang yang berbuatlah yang diakui keberadaannya. 

Kepada peserta di kelas pelatihan tersebut saya jelaskan, simulasi tadi juga berlaku untuk urusan ibadah. Saya tidak berhak mengatakan bahwa orang yang lebih tepat waktu akan mendapatkan pahala lebih besar, karena itu hak Allah dan juga tergantung dengan kualitas ibadahnya itu sendiri.

Tapi bukankah setiap orang tua akan lebih menyukai anaknya yang tanggap dan cepat menghampiri ketika dipanggil ketimbang anak lainnya yang menunda-nunda? Jika demikian, buatlah Allah suka kepada kita dengan kesigapan. Bisa jadi, suka menjadi awal dari cinta-Nya untuk kita. Semoga.


Sumber : ->> artikelmotivasi.blogspot.com/ 

Saat membaca ini, kayaknya wajib share hehe... 
Hari gini gak ambil kesempatan positif, duh pasti rugi banget. 
Belajar dari cerita diatas yuk. 


sumber : Google

Dalam sebuah kelas pelatihan, saya mengambil selembar kertas polos kemudian menggunting-guntingnya menjadi beberapa bagian. Ada guntingan besar ada juga yang kecil. Tapi jumlahnya sengaja saya buat tak sama dengan jumlah peserta dalam kelas itu, dua puluh orang. 

Kemudian saya meminta kepada peserta untuk mengambil masing-masing satu guntingan kertas yang tersedia di meja depan. "Silahkan ambil satu!" demikian instruksi yang saya berikan.
Dapat diduga, ada yang antusias maju dengan gerak cepat dan mengambil bagiannya, ada yang berjalan santai, ada juga yang meminta bantuan temannya untuk mengambilkan. Dua tiga orang bahkan terlihat bermalasan untuk mengambil, mereka berpikir toh semuanya kebagian guntingan kertas tersebut. 

Hasilnya? Empat orang terakhir tak mendapatkan guntingan kertas. Delapan orang pertama ke depan mendapatkan guntingan besar-besar, yang berjalan santai dan yang meminta diambilkan harus rela mendapatkan yang kecil.

Lalu saya katakan kepada mereka, "Inilah hidup! Kamu ambil kesempatan yang tersedia atau kamu akan kehilangan kesempatan itu. Jika kamu tak melakukannya, akan banyak orang lain yang melakukannya."

Pagi ini di kereta saya mendapati seorang wanita hamil yang berdiri agak jauh. Saya sempat berpikir bahwa orang yang paling dekat lah yang `wajib' memberinya tempat duduk. Tapi sedetik kemudian saya bangun dan segera memanggil ibu itu untuk duduk. Ini perbuatan baik, jika saya tak mengambil kesempatan ini orang lainlah yang melakukannya. Dan belum tentu esok hari saya masih memiliki kesempatan seperti ini.

Soal rezeki misalnya, saya percaya ia tak pernah datang sendiri menghampiri orang-orang yang lelap tertidur meski matahari sudah terik. "Bangun pagi, rezekinya dipatok ayam tuh!" Orang tua dulu sering berucap seperti itu. Dan entah kenapa hingga detik ini saya tak pernah bisa menyanggah ucapan orangtua perihal rezeki itu. Saya percaya bahwa orang-orang yang lebih cepat berupaya meraihnya lah yang memiliki kesempatan untuk mendapatkan rezeki yang lebih banyak. Sementara mereka yang bersantai-santai atau bahkan bermalas-malasan, ada kemungkinan kehabisan rezeki.

Saya sering mendengar teman saya berkomentar negatif tentang apa yang dikerjakan orang lain, "Ah, kalau cuma tulisan begini sih saya juga bisa melakukannya" atau "Saya bisa melakukan yang lebih baik dari orang itu". Kepadanya saya katakan, saya yakin kamu bisa melakukannya. Masalahnya, sejak tadi saya hanya melihat kamu terus berbicara dan tak melakukan apa pun.

Sementara orang-orang di luar sana langsung berbuat tanpa perlu banyak bicara. Buktikan, jika kita sanggup! Terus berbicara dan mengomentari hasil kerja orang lain tidak akan membuat kita diakui keberadaannya. Hanya orang-orang yang berbuatlah yang diakui keberadaannya. 

Kepada peserta di kelas pelatihan tersebut saya jelaskan, simulasi tadi juga berlaku untuk urusan ibadah. Saya tidak berhak mengatakan bahwa orang yang lebih tepat waktu akan mendapatkan pahala lebih besar, karena itu hak Allah dan juga tergantung dengan kualitas ibadahnya itu sendiri.

Tapi bukankah setiap orang tua akan lebih menyukai anaknya yang tanggap dan cepat menghampiri ketika dipanggil ketimbang anak lainnya yang menunda-nunda? Jika demikian, buatlah Allah suka kepada kita dengan kesigapan. Bisa jadi, suka menjadi awal dari cinta-Nya untuk kita. Semoga.


Sumber : ->> artikelmotivasi.blogspot.com/ 

Saat membaca ini, kayaknya wajib share hehe... 
Hari gini gak ambil kesempatan positif, duh pasti rugi banget. 
Belajar dari cerita diatas yuk. 

Air mata kebencian


Sumber gambar : sini

Gadis belia itu terlihat begitu rapuh saat air matanya mengalir begitu deras. ia berkali-kali menyekatnya dengan sapu tangan, tapi berkali-kali jua ia tak mampu menghadirkan rasa tenang. 

Usianya kini bukan remaja lagi, suaranya begitu serak dan terbatuk-batuk ketika permohonan do'a mulai ia tuturkan. 
Ada rasa iba yang menghadirkan jalinan ukhuwah. 

"ada paa ukhti? La tahzan" sembari membelai balutan serba putih itu.
"apa aku pantas diberi julukan menyebalkan, tidak enak disedap?"

"siapa yang mengatakan itu? adakah yang menjulukimu seperti itu? astaghfirullah"

"tidak, tapi perasaanku berkata demikian" 

"kenapa suudzon?"

"tidak suudzon. Berkali-kali aku melihat wajah mereka yang membenciku. parahnya aku mendengar ucapan itu dari seorang ibu setengah baya. Kian hari aku merasa tersisihkan sebagai seoarang manusia"

"aku dengar ceritamu tentang ada seseorang yang membencimu tanpa sebab. Bahkan ia mengatakan dengan jujur membencimu di saat pengajian ibu-ibu. Ibu itu keterlaluan. Yah sudahlah jika bertemu dengannya kau beri ia senyuman, jika ia tetap tak menghiraukanmu maka berilah ia harapan dalam do'a"

"Apa memang ujianku seperti ini yah? aku belum bisa melewati masa ini dengan baik"


“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, sesungguhnya kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang-orang beriman” (Ali Imran 139)

Benci tak bisa di cegah. Naluri manusia itu wajar membias bahkan terprovokatori oleh manusia lainnya lalu menyebabkan benci semakin berkecambah. 

Bias-bias benci bukanlah sesuatu yang mudah di renggut kembali menjadi sebuah cinta. Terkadang ada banyak celah menyebabkan rasa benci itu semakin membara. 
Terhadap orang yang tak kita kenali kadang benci itu begitu mudah terlontar dari bibir kita bahkan meradang memasuki sanubari sebuah hati. 

Inilah kenyataan hidup bilaman kita tahu sebuah benci tanpa sebab bisa menjadi bumerang yang menakutkan. Masih sadar diri saja ketika kematian belum merenggut atau menghancurkan kebencian itu. 

Mari merindu, mari mencintai damai bukankah Islam selalu menerapkan kasih sayang?

Siapapun dibawah kita bahkan amat terbawah mereka tak perlu dibenci juga bukan? bukankah lebih baik menghadiahi sebuah senyuman dan do'a daripada materi semata?

"Benci saja sifatnya jangan orangnya"

"lalu bagaimana jika ada orang yang membencimu?"

"biarkan saja dia membenciku daripada dia membenci dirinya sendiri ?? ngik ngok hehehe. Karena kebencian itu sebuah Kelemahan" ucapku tertawa kecil.


Gadis itu pun larut dalam air mata ketika mendengar untaian kataku yang mencoba menjadi orang yang sejajar dengannya. Mencoba merasakan penderitaannya, mencoba menjadi dirinya di kala ia lemah dan membutuhkan. Bukankah seperti itu yang seharusnya?

Hati-hatilah dirimu dari cemburu yang tidak pada tempatnya karena itu adalah kunci perceraian. Hati-hati dari banyak mencela karena hal itu akan mewariskan kebencian. Selalulah ananda memakai celak karena celak adalah perhiasan yang paling bagus. Dan wewangian yang terbaik adalah air
Abdullah Ibnu Ja’far Radhiyallâhu ‘anhumaa 



Sumber gambar : sini

Gadis belia itu terlihat begitu rapuh saat air matanya mengalir begitu deras. ia berkali-kali menyekatnya dengan sapu tangan, tapi berkali-kali jua ia tak mampu menghadirkan rasa tenang. 

Usianya kini bukan remaja lagi, suaranya begitu serak dan terbatuk-batuk ketika permohonan do'a mulai ia tuturkan. 
Ada rasa iba yang menghadirkan jalinan ukhuwah. 

"ada paa ukhti? La tahzan" sembari membelai balutan serba putih itu.
"apa aku pantas diberi julukan menyebalkan, tidak enak disedap?"

"siapa yang mengatakan itu? adakah yang menjulukimu seperti itu? astaghfirullah"

"tidak, tapi perasaanku berkata demikian" 

"kenapa suudzon?"

"tidak suudzon. Berkali-kali aku melihat wajah mereka yang membenciku. parahnya aku mendengar ucapan itu dari seorang ibu setengah baya. Kian hari aku merasa tersisihkan sebagai seoarang manusia"

"aku dengar ceritamu tentang ada seseorang yang membencimu tanpa sebab. Bahkan ia mengatakan dengan jujur membencimu di saat pengajian ibu-ibu. Ibu itu keterlaluan. Yah sudahlah jika bertemu dengannya kau beri ia senyuman, jika ia tetap tak menghiraukanmu maka berilah ia harapan dalam do'a"

"Apa memang ujianku seperti ini yah? aku belum bisa melewati masa ini dengan baik"


“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, sesungguhnya kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang-orang beriman” (Ali Imran 139)

Benci tak bisa di cegah. Naluri manusia itu wajar membias bahkan terprovokatori oleh manusia lainnya lalu menyebabkan benci semakin berkecambah. 

Bias-bias benci bukanlah sesuatu yang mudah di renggut kembali menjadi sebuah cinta. Terkadang ada banyak celah menyebabkan rasa benci itu semakin membara. 
Terhadap orang yang tak kita kenali kadang benci itu begitu mudah terlontar dari bibir kita bahkan meradang memasuki sanubari sebuah hati. 

Inilah kenyataan hidup bilaman kita tahu sebuah benci tanpa sebab bisa menjadi bumerang yang menakutkan. Masih sadar diri saja ketika kematian belum merenggut atau menghancurkan kebencian itu. 

Mari merindu, mari mencintai damai bukankah Islam selalu menerapkan kasih sayang?

Siapapun dibawah kita bahkan amat terbawah mereka tak perlu dibenci juga bukan? bukankah lebih baik menghadiahi sebuah senyuman dan do'a daripada materi semata?

"Benci saja sifatnya jangan orangnya"

"lalu bagaimana jika ada orang yang membencimu?"

"biarkan saja dia membenciku daripada dia membenci dirinya sendiri ?? ngik ngok hehehe. Karena kebencian itu sebuah Kelemahan" ucapku tertawa kecil.


Gadis itu pun larut dalam air mata ketika mendengar untaian kataku yang mencoba menjadi orang yang sejajar dengannya. Mencoba merasakan penderitaannya, mencoba menjadi dirinya di kala ia lemah dan membutuhkan. Bukankah seperti itu yang seharusnya?

Hati-hatilah dirimu dari cemburu yang tidak pada tempatnya karena itu adalah kunci perceraian. Hati-hati dari banyak mencela karena hal itu akan mewariskan kebencian. Selalulah ananda memakai celak karena celak adalah perhiasan yang paling bagus. Dan wewangian yang terbaik adalah air
Abdullah Ibnu Ja’far Radhiyallâhu ‘anhumaa 


 
Catatan Annurshah Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template