13th lalu, ada kebersamaan, ada pula perpisahan
Keajaiban itu datang dariNya, membawaku mengenal sejatinya dirimu,
Keikhlasan selalu tersambut hangat
Buliran keringat menyapu air matamu yang berbaur dengan derasnya hujan
Rasa cinta, kasih sayang kan terus berpendar dalam mengarungi bahtera ini
Ada senyuman terteduh ku lihat
Ragamu bagai baja, dan hatimu bagaikan karang.
Setiap jejak yang kau pijak
Setiap sudut mata memandang
Setiap kata yang kau tuturkan
Derap langkahmu tetap terpadu dalam lembaran yang mewarni baiti keluargaku
“ayah, aku rangking Satu… aku gak pernah minta apapun dari ayah. Aku ingin diberikan hadiah”
“ya, nanti kalau ayah punya rezeki”
“hem,… dari dulu aku ingin rangking satu sekarang saat kelas 3 aku sudah rangking 1 tapi tak dapat apa-apa” gerutuku.
Padahal senyuman diwajah ayah sekelebat di sudut penglihatanku begitu hangat kurasakan. Belum lagi, aku tak pernah melihat wajahnya yang benderang menatap nilai raportku. Hari itu, hari terakhir ia melihat rangking 1 yang tertulis jelas dalam raport bersampul merah. Saat itu ayah masih menjalani rawat jalan di rumah.
Kalau kau diam, ibu yang cerewet.
Kalau ibu yang diam, kau yang bertindak
Selalu ada serta – menyertai
Salah satu kenikmatan Allah atas seorang ialah dijadikan anaknya mirip dengan ayahnya (dalam kebaikan). (HR. Ath-Thahawi)Walau wajah ayah tak mirip denganku, tapi ada kemiripan dalam mencintai buku bacaanmu. Namun satu kebaikanmu selalu terngiang dan mendarah daging dalam diriku, sepanjang hidup.
Aku menemani ibuku yang sudah lelah di kamar Bugenvil, tempat ayah di rawat di rumah sakit. Hari-hariku akhir-akhir ini hanya di habiskan untuk menunggu dan menunggu. Menunggu kesembuhanmu, menunggu mendengar suaramu yang selalu membuatku merinding ketika kau melantunkan ayat-ayat suciNya. Ku bersandar di dinding bercat putih, dimana dihadapanku bukan hanya satu pasien yang terbaring lemah, melainkan 3 orang pasien yang membuatku semakin terpuruk melihat keadaanmu.
Aku masih ingat ketika terakhir kau meminta ku untuk membuangkan air seni yang ada di botol plastik, karena tak bisa berjalan, tubuhmu lemah. Aku dengan lantang menolaknya karena aku sudah mengambil air wudlu, dan ku jijik memegangnya. Wajah ayahpun semakin memandangku dengan penuh kemarahan dan tangannya tak bisa menahan terlalu lama botol plastik yang berisikan air seni, dan terlepas dari genggamannya terpelanting ke bawah dan jatuh berceceran.
Dalam sekejap aku merasa sakit, ulu hati ku terasa tersayat-sayat, hampir saja ku menangis dihadapanmu atas rasa sesalku yang kulakukan padamu. Betapa kejamnya aku yang membiarkan kau menderita dan semakin menderita, tak ada yang bisa membantu, sedangkan ketika ibu sakit kau yang menjadi ibu rumah tangganya.
Ayah, saat ibu melahirkan adikku di rumah sakit. Kaulah orang yang menjadi Ibu. Kau bahu membahu seorang diri tanpa keluh dan kesal. Senyumanmu selalu terpancar indah seperti matahari bersinar dari timur dengan kehangat udara yang selalu ku rasa.
Kau dulu tak hadir lama saat aku ingin memelukmu. Kau berjauhan dari kami karena pekerjaanmu yang sudah menjadi kewajiban untuk menafkahi kami.
Tapi tanpa terasa, kau justru jarang terlihat mondar mandir ke kota dan ke desa.
Kini kau selamanya menjadi ayah yang terbaring dan tergolek lemas tanpa tangan malaikat-malaikat kecilmu ini bisa menjamah sosokmu lebih jauh.
Kejadian itu membuatku semakin terpuruk.
Apalagi matamu yang masih terbuka lebar masih sanggup melihat tapi tak sanggup berbicara sepatah kata pun. Saat yang mendebarkan itu pun datang juga, kau menggerakkan tanganmu ketika ibu mengelap wajahmu yang berpeluh keringat. Kau mengatakan sesuatu yang tak bisa ibu pahami, telinga ibu sudah sangat mendekat dibibirmu.
“Yaaa…..sin……..”
Suaranya membuat bulu roma ku berdiri, aku hampir saja menitihkan air mata ke wajahnya.
Nenek yang sudah tidur pulas di bawah dengan tikar seadanya membuat Ibu enggan membangunkannya. Malam sudah menujukkan pukul 2, Nenek yang akhirnya terbangun segera melantunkan surat yasin.
Tiba-tiba sebelum nenek mengucapkan satu ayat, ayah sudah mendahuluinya. Dengan suara lancar tanpa gagap sedikitpun dia melantunkan surat yasin tanpa melihat bacaannya secara langsung. Ya, ayah memang suka menghafal ayat-ayatnya dengan baik.
Sebelumnya ayah pernah bercerita kepadaku tepat 3 bulan yang lalu, ia bersenda gurau denganku sambil memegangi koreng yang terkelupas di kakinya setelah kecelakaan 4 bulan yang lalu.
“ayo bawa lari, cepat nanti bunyi deh korengnya”
Aku pun menurutinya ku berlari kencang, baru setengah meter ayah berteriak sambil tertawa.
“ada maling bawa daging….ada maling bawa daging……”
Aku segera menghentikan lariku yang hampir mendekati pintu ruang tamu. Ku buang jauh-jauh koreng itu. Dan aku tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perut, aku ingin marah tapi ada tawa dalam wajah ayahku yang tak pernah ku lihat sebelumnya, dia tertawa diatas penderitaannya. Ia menikmati sakitnya yang sudah terlalu lama. Dan kemudian dia mengatakan hal yang membuatku tak bisa tidur semalaman bahkan teringat sampai detik ini.
“kelak jika ayah meninggal, ayah ingin di makamkan di tempat ayah dilahirkan, kuburan milik kakekmu” kata Ayah sambil minum obat.
Ku tatap matanya yang sendu, ku tahu kau sudah patah kaki tapi kau masih saja ingin menjadi imam di masjid.
Kau tak peduli hinaan yang akan menancap bak busur panah itu mengenai dirimu. Dengan posisi duduk dan kau senderkan kedua tongkat kayumu itu di dinding dekat kau sholat. Suara itu masih jelas di ingatanku, ketika kau yang mengimami sholat berjamaah.
Dan malamnya hingga sekarang ia masih terbaring di rumah sakit. Kata-kata itu akan ku pegang dan ku ingat, ku akan berjanji dan memenuhi keinginanmu itu. Tepat jam 2 malam lagi, kau memintaku untuk membaca surat yang lain yaitu Al-waqiah. Kau pun menghafalnya tanpa melihat huruf arab yang sering ku baca. Saat itu saat yang menegangkan kau menghentikan nafas terakhirmu, ketika ibu memegangi tanganmu dengan erat.
“aku siap ya Alloh.. aku siap… aku siap menghadapMu”
ayah terus saja berkomat- kamit tak jelas, pandangannya pun tak terarah menatap apa dan siapa.
Suatu keajaiban lagi bagiku, dia bisa berbicara dengan suara yang jelas dan tak terputus-putus. Walaupun pada akhirnya surat penutupmu al – ikhlas, kalimat penutup terindahmu adalah tahlil “la illa ha illalah”.
Tanpa beban semua terasa sekejap ku rasa. Binar-binar kebahagiaan yang tak lama ku rasa hanya sembilan tahun saja. Begitu juga dengan si kecil yang tak mendapatkan sosok sejatimu saat usia 2 tahun itu belum bisa mengenali siapa sosokmu sesungguhnya.
Tetesan air matamu yang tersembunyi, kini meluap dari hati keturunanmu. Kini menyadari betapa pentingnya seorang pemimpin dalam rumah tangga.
Tapi tanpamu,…. ibu yang akan menjadi ayah
Kakak yang akan menjadi ayah
Dan kita disiplin seperti ayah..
Mengenal ayah bukan cerita fiktif yang ku lupakan
Mencintai ayah adalah anugerah terindah yang wajib ku syukuri.
Wahai pemimpin rumah tangga,
Wahai imam yang baik di mataku,
Ayah,
aku masih beruntung tak seperti Baginda Nabi Muhammad SAW, yang masih di dalam kandungan sudah menjadi yatim.
Ayah,
aku masih beruntung tak seperti Nabi Isa as, yang memiliki ibu tapi tak memiliki ayah.
Ayah,
aku masih beruntung bisa memelukmu, mencium pipimu, merasakan kehangatan uluran tanganmu…
Tak seperti mereka yang dibuang di tempat sampah atau di titipkan di panti asuhan padahal mereka memiliki ayah yang utuh.
Ayah,
sejuta harapan masih terpendam dalam ingatanku, walau kau tak ada di bumi ini. Walau ku tak sempat membalas jasa besarmu mengarungi samudra, mengais rezeki dengan jalan berliku.
Namun kekuatan punggungmu mampu menjadikan semangat jihad bagiku.
Do’ku harapanku
Tak lagi akan ku lupakan satu do’a anak sholeh dan sholehah terhadap bapak ibunya.
Dan harapanku kelak, aku ingin bertemu di surgaNYA. Aamin.
Tulisan ini diikutsertakan dalam Giveaway The Fairy and Me yang diselenggarakan oleh Nurmayanti Zain".
13th lalu, ada kebersamaan, ada pula perpisahan
Keajaiban itu datang dariNya, membawaku mengenal sejatinya dirimu,
Keikhlasan selalu tersambut hangat
Buliran keringat menyapu air matamu yang berbaur dengan derasnya hujan
Rasa cinta, kasih sayang kan terus berpendar dalam mengarungi bahtera ini
Ada senyuman terteduh ku lihat
Ragamu bagai baja, dan hatimu bagaikan karang.
Setiap jejak yang kau pijak
Setiap sudut mata memandang
Setiap kata yang kau tuturkan
Derap langkahmu tetap terpadu dalam lembaran yang mewarni baiti keluargaku
“ayah, aku rangking Satu… aku gak pernah minta apapun dari ayah. Aku ingin diberikan hadiah”
“ya, nanti kalau ayah punya rezeki”
“hem,… dari dulu aku ingin rangking satu sekarang saat kelas 3 aku sudah rangking 1 tapi tak dapat apa-apa” gerutuku.
Padahal senyuman diwajah ayah sekelebat di sudut penglihatanku begitu hangat kurasakan. Belum lagi, aku tak pernah melihat wajahnya yang benderang menatap nilai raportku. Hari itu, hari terakhir ia melihat rangking 1 yang tertulis jelas dalam raport bersampul merah. Saat itu ayah masih menjalani rawat jalan di rumah.
Kalau kau diam, ibu yang cerewet.
Kalau ibu yang diam, kau yang bertindak
Selalu ada serta – menyertai
Salah satu kenikmatan Allah atas seorang ialah dijadikan anaknya mirip dengan ayahnya (dalam kebaikan). (HR. Ath-Thahawi)Walau wajah ayah tak mirip denganku, tapi ada kemiripan dalam mencintai buku bacaanmu. Namun satu kebaikanmu selalu terngiang dan mendarah daging dalam diriku, sepanjang hidup.
Aku menemani ibuku yang sudah lelah di kamar Bugenvil, tempat ayah di rawat di rumah sakit. Hari-hariku akhir-akhir ini hanya di habiskan untuk menunggu dan menunggu. Menunggu kesembuhanmu, menunggu mendengar suaramu yang selalu membuatku merinding ketika kau melantunkan ayat-ayat suciNya. Ku bersandar di dinding bercat putih, dimana dihadapanku bukan hanya satu pasien yang terbaring lemah, melainkan 3 orang pasien yang membuatku semakin terpuruk melihat keadaanmu.
Aku masih ingat ketika terakhir kau meminta ku untuk membuangkan air seni yang ada di botol plastik, karena tak bisa berjalan, tubuhmu lemah. Aku dengan lantang menolaknya karena aku sudah mengambil air wudlu, dan ku jijik memegangnya. Wajah ayahpun semakin memandangku dengan penuh kemarahan dan tangannya tak bisa menahan terlalu lama botol plastik yang berisikan air seni, dan terlepas dari genggamannya terpelanting ke bawah dan jatuh berceceran.
Dalam sekejap aku merasa sakit, ulu hati ku terasa tersayat-sayat, hampir saja ku menangis dihadapanmu atas rasa sesalku yang kulakukan padamu. Betapa kejamnya aku yang membiarkan kau menderita dan semakin menderita, tak ada yang bisa membantu, sedangkan ketika ibu sakit kau yang menjadi ibu rumah tangganya.
Ayah, saat ibu melahirkan adikku di rumah sakit. Kaulah orang yang menjadi Ibu. Kau bahu membahu seorang diri tanpa keluh dan kesal. Senyumanmu selalu terpancar indah seperti matahari bersinar dari timur dengan kehangat udara yang selalu ku rasa.
Kau dulu tak hadir lama saat aku ingin memelukmu. Kau berjauhan dari kami karena pekerjaanmu yang sudah menjadi kewajiban untuk menafkahi kami.
Tapi tanpa terasa, kau justru jarang terlihat mondar mandir ke kota dan ke desa.
Kini kau selamanya menjadi ayah yang terbaring dan tergolek lemas tanpa tangan malaikat-malaikat kecilmu ini bisa menjamah sosokmu lebih jauh.
Kejadian itu membuatku semakin terpuruk.
Apalagi matamu yang masih terbuka lebar masih sanggup melihat tapi tak sanggup berbicara sepatah kata pun. Saat yang mendebarkan itu pun datang juga, kau menggerakkan tanganmu ketika ibu mengelap wajahmu yang berpeluh keringat. Kau mengatakan sesuatu yang tak bisa ibu pahami, telinga ibu sudah sangat mendekat dibibirmu.
“Yaaa…..sin……..”
Suaranya membuat bulu roma ku berdiri, aku hampir saja menitihkan air mata ke wajahnya.
Nenek yang sudah tidur pulas di bawah dengan tikar seadanya membuat Ibu enggan membangunkannya. Malam sudah menujukkan pukul 2, Nenek yang akhirnya terbangun segera melantunkan surat yasin.
Tiba-tiba sebelum nenek mengucapkan satu ayat, ayah sudah mendahuluinya. Dengan suara lancar tanpa gagap sedikitpun dia melantunkan surat yasin tanpa melihat bacaannya secara langsung. Ya, ayah memang suka menghafal ayat-ayatnya dengan baik.
Sebelumnya ayah pernah bercerita kepadaku tepat 3 bulan yang lalu, ia bersenda gurau denganku sambil memegangi koreng yang terkelupas di kakinya setelah kecelakaan 4 bulan yang lalu.
“ayo bawa lari, cepat nanti bunyi deh korengnya”
Aku pun menurutinya ku berlari kencang, baru setengah meter ayah berteriak sambil tertawa.
“ada maling bawa daging….ada maling bawa daging……”
Aku segera menghentikan lariku yang hampir mendekati pintu ruang tamu. Ku buang jauh-jauh koreng itu. Dan aku tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perut, aku ingin marah tapi ada tawa dalam wajah ayahku yang tak pernah ku lihat sebelumnya, dia tertawa diatas penderitaannya. Ia menikmati sakitnya yang sudah terlalu lama. Dan kemudian dia mengatakan hal yang membuatku tak bisa tidur semalaman bahkan teringat sampai detik ini.
“kelak jika ayah meninggal, ayah ingin di makamkan di tempat ayah dilahirkan, kuburan milik kakekmu” kata Ayah sambil minum obat.
Ku tatap matanya yang sendu, ku tahu kau sudah patah kaki tapi kau masih saja ingin menjadi imam di masjid.
Kau tak peduli hinaan yang akan menancap bak busur panah itu mengenai dirimu. Dengan posisi duduk dan kau senderkan kedua tongkat kayumu itu di dinding dekat kau sholat. Suara itu masih jelas di ingatanku, ketika kau yang mengimami sholat berjamaah.
Dan malamnya hingga sekarang ia masih terbaring di rumah sakit. Kata-kata itu akan ku pegang dan ku ingat, ku akan berjanji dan memenuhi keinginanmu itu. Tepat jam 2 malam lagi, kau memintaku untuk membaca surat yang lain yaitu Al-waqiah. Kau pun menghafalnya tanpa melihat huruf arab yang sering ku baca. Saat itu saat yang menegangkan kau menghentikan nafas terakhirmu, ketika ibu memegangi tanganmu dengan erat.
“aku siap ya Alloh.. aku siap… aku siap menghadapMu”
ayah terus saja berkomat- kamit tak jelas, pandangannya pun tak terarah menatap apa dan siapa.
Suatu keajaiban lagi bagiku, dia bisa berbicara dengan suara yang jelas dan tak terputus-putus. Walaupun pada akhirnya surat penutupmu al – ikhlas, kalimat penutup terindahmu adalah tahlil “la illa ha illalah”.
Tanpa beban semua terasa sekejap ku rasa. Binar-binar kebahagiaan yang tak lama ku rasa hanya sembilan tahun saja. Begitu juga dengan si kecil yang tak mendapatkan sosok sejatimu saat usia 2 tahun itu belum bisa mengenali siapa sosokmu sesungguhnya.
Tetesan air matamu yang tersembunyi, kini meluap dari hati keturunanmu. Kini menyadari betapa pentingnya seorang pemimpin dalam rumah tangga.
Tapi tanpamu,…. ibu yang akan menjadi ayah
Kakak yang akan menjadi ayah
Dan kita disiplin seperti ayah..
Mengenal ayah bukan cerita fiktif yang ku lupakan
Mencintai ayah adalah anugerah terindah yang wajib ku syukuri.
Wahai pemimpin rumah tangga,
Wahai imam yang baik di mataku,
Ayah,
aku masih beruntung tak seperti Baginda Nabi Muhammad SAW, yang masih di dalam kandungan sudah menjadi yatim.
Ayah,
aku masih beruntung tak seperti Nabi Isa as, yang memiliki ibu tapi tak memiliki ayah.
Ayah,
aku masih beruntung bisa memelukmu, mencium pipimu, merasakan kehangatan uluran tanganmu…
Tak seperti mereka yang dibuang di tempat sampah atau di titipkan di panti asuhan padahal mereka memiliki ayah yang utuh.
Ayah,
sejuta harapan masih terpendam dalam ingatanku, walau kau tak ada di bumi ini. Walau ku tak sempat membalas jasa besarmu mengarungi samudra, mengais rezeki dengan jalan berliku.
Namun kekuatan punggungmu mampu menjadikan semangat jihad bagiku.
Do’ku harapanku
Tak lagi akan ku lupakan satu do’a anak sholeh dan sholehah terhadap bapak ibunya.
Dan harapanku kelak, aku ingin bertemu di surgaNYA. Aamin.
Tulisan ini diikutsertakan dalam Giveaway The Fairy and Me yang diselenggarakan oleh Nurmayanti Zain".